Beranda | Artikel
Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah
Jumat, 16 September 2022

Bismillah.

Salah satu tugas utama para pengikut setia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengajak manusia kepada tauhid, mengesakan Allah dalam hal ibadah.

Hal ini telah termuat dengan indah di dalam Kitabullah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ وَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَاۤ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Mahasuci Allah, aku sama sekali bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Mendakwahkan Islam, mengajak kepada tauhid, merangkul umat manusia untuk kembali menyadari dan mewujudkan hakikat tujuan hidup mereka adalah tugas yang sangat mulia. Sebab, dengan mengikuti petunjuk Allah dan bimbingan Rasul-Nya, maka manusia akan berbahagia. Sebaliknya, dengan berpaling dari agama dan loyal kepada perusak agama, akan menjerumuskan bani Adam ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Benar, bahwa ibadah kepada Allah tidak terbatas dalam bentuk salat, puasa, atau berhaji dan membayar zakat. Akan tetapi, ibadah mencakup segala ucapan dan perbuatan yang mendatangkan keridaan Allah dan kecintaan-Nya. Ibadah yang dimurnikan kepada Allah dan berlepas diri dari penghambaan kepada selain-Nya.

Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keadilan yang paling tinggi adalah menegakkan ‘ubudiyah kepada Allah dan menjauhi syirik kepada-Nya. Sementara mempersekutukan Allah dalam hal ibadah adalah bentuk kezaliman yang paling berat dan paling jahat. Karena itulah para rasul di sepanjang zaman mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah.

Baca Juga: Ahli Tauhid: Takut Syirik dan Mendakwahkan Tauhid (Bag. 1)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36) Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa thaghut meliputi segala perkara yang membuat manusia melampaui batas dalam bentuk sesembahan, orang yang diikuti, atau sosok yang dipatuhi. Sehingga thaghut bisa berupa dukun dan paranormal. Selain itu, pembesarnya thaghut adalah iblis. Mengingkari thaghut adalah bagian dari keimanan yang tidak boleh dipisahkan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, hari-hari ini kita hidup di zaman yang penuh dengan berbagai tipuan dan kepalsuan. Orang yang mengajak kepada kebenaran digelari sebagai pemecah-belah persatuan dan penyeru kesesatan. Orang yang mengajak kepada penyimpangan justru dielu-elukan dan dijadikan sebagai sosok panutan dan idola masyarakat. Pada masa-masa semacam ini, maka tidak ada yang lebih utama bagi seorang muslim, selain menegakkan ibadah kepada Allah dan menunaikan nasihat kepada manusia dengan beramar makruf dan nahi mungkar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Baca Juga: Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dijelaskan oleh para ulama bahwa saling menasihati dalam kebenaran menjadi terapi dan perisai untuk menghadapi berbagai bentuk fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Sedangkan saling menasihati dalam kesabaran adalah terapi dan perisai untuk menghadapi fitnah syahwat (godaan terhadap keharaman).

Agama Islam yang mulia ini memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita dalam hal apa kita saling bekerjasama, yaitu dalam kebaikan dan takwa. Dalam hal apa kita memerintahkan dan mengajak manusia, yaitu dalam hal ketaatan dan amal saleh. Dalam hal apa kita melarang manusia, yaitu dari segala bentuk kemungkaran dan kerusakan dalam agama. Karena itulah, belajar tentang ilmu agama menjadi pintu gerbang kebaikan dan kemajuan kaum muslimin. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama kita telah menjelaskan bahwa ilmu agama menjadi sebuah perkara yang sangat tinggi dan mulia. Karena ia menjadi sarana dan pondasi untuk bertakwa kepada Allah. Ketika Allah memuji para ulama bukanlah karena mereka memiliki kecerdasan atau nilai akademik yang tinggi di mata manusia, tetapi justru disebabkan karena kualitas rasa takut mereka kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ 

“Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir: 28) Setiap orang yang dengan ilmunya membuat dia semakin takut kepada Allah maka dialah yang layak disebut sebagai ‘alim (ulama).

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan memperbanyak riwayat, akan tetapi ilmu yang sejati adalah tumbuhnya rasa takut kepada Allah.” Oleh karena itu, kita jumpai para sahabat nabi radhiyallahu ’anhum tumbuh menjadi generasi terbaik umat ini karena kedalaman ilmu dan kebersihan hatinya dalam mengabdi kepada Allah.

Al-Auza’i rahimahullah -seorang ahli hadis dan ahli fikih besar- mengatakan, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para salaf (sahabat nabi), meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal manusia atau tokoh kesesatan, walaupun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan (kalimat-kalimat) yang indah dan menawan.”

Baca Juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan?

Agungnya kalimat tauhid

Kalimat lailahaillallah adalah kalimat yang sangat ringan diucapkan dengan lisan, namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena pada hakikatnya, ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi, tentu saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus dijalankan. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid oleh Syekh Shalih al-Fauzan, hal. 5)

Ada yang berkata kepada Al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan, ‘Barangsiapa mengucapkan lailahaillallah, maka dia pasti masuk surga.?” Maka, Al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan lailahaillallah, kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Ibnu Rajab, hal. 40)

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah lailahaillallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi, tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu, maka dibukakanlah (surga) untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.” (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ

“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahanyang benar), selain Dia, dan (bersaksi pula) para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah (yang benar) selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali ‘Imran: 18)

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. Al-Maktab Al-Islami)

Makna persaksian ini adalah bahwa Allah mengabarkan, menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan (yang benar) dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu (ilahiyah pada selain Allah adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah, kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal. 178 oleh Ibnul Qayyim rahimahullah)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka adalah syahadat lailahaillallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan lailahaillallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang. Dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah (benar) cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim, 2: 88)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17; cet. Mu’assasah Ar-Risalah)

Baca Juga: Mendakwahkan Akhlak dan Muamalah Saja, Lalu Melupakan Dakwah Tauhid

Konsekuensi kalimat tauhid

Syahadat lailahaillallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud (sesembahan) yang benar, kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ilah bermakna ma’luh (sesembahan), sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud (beribadah). Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan lailaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan (setelah keimanan di dalam hati) bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. (lihat Fatawa Arkan Al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Orang yang mengucapkan lailahaillallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan salat wajib, zakat yang telah difardukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Kalimat lailahaillallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Zat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut, dan pengagungan kepada-Nya. Zat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan, kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini (yang ia merupakan kekhususan ilahiyah), maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi, mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu, ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya)

Kalimat lailahaillallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada keyakinan dan pelaksanaan terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ فِی ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِیرًا

“Sesungguhnya, orang-orang munafik itu berada di dalam kerak paling bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِذَا جَاۤءَكَ ٱلۡمُنَـٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ یَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ یَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ لَكَـٰذِبُونَ

“Apabila datang kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan, ‘Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah.’ Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)

Seorang yang mengucapkan lailahaillallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan lailahaillallah karena (ikhlas) mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)

Seorang yang mengucapkan lailahaillallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwsanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan lailahaillallah di dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, mengucapkannya.

Kedua, mengetahui maknanya.

Ketiga, meyakini kandungannya.

Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang menyimpang dan menentangnya. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid, hal. 11 dan 16)

Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya. Demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak atau menodainya.” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8)

Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang paling pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagaimana yang dialami penduduk Madyan (kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) atau dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya, umat para nabi terdahulu itu (pada umumnya) tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka. Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)

Semoga kumpulan tulisan dan catatan ringkas ini bermanfaat bagi kami dan segenap kaum muslimin. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Baca Juga:

 ***

Yogyakarta, awal-awal bulan Shafar 1444 H

Kantor Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/78502-mengembangkan-dakwah-di-zaman-fitnah.html